PENDAHULUAN
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto
di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno.
Orde Baru hadir dengan semangat koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan
oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Baru dalam dua dasawarsa terakhir, sejak
permulaan pemerintah Orde Baru tahun 1966, yang sejalan dengan pergeseran pusat
perhatian dari masalah pembinaan bangsa ke masalah pembangunan ekonomi, muncul
perhatian yang serius untuk menata kembali suatu sistem politik yang diharapkan
akan dapat menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut. Proses ini semakin
jelas ketika negara karena prioritas pembangunan ekonominya yang berorientasi
pada pertumbuhan, mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi Internasional
yang bercorak kapitalis. Dengan demikian pembangunan ekonomi yang berorientasi
pada pertumbuhan dan keterikatan Internasional mempunyai signifikansi tertentu
dalam memahami karakteristik kepolitikan dan birokrasi di Indonesia.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan
yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan
konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir
serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
besar namun tidak merata di Indonesia.
KEHIDUPAN
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Pada awal kemerdekan RI pada tahun 1945
adalah masa-masa sulit bagi awal perkembangan ekonomi yang berawal dari
kebijakan perekonomian Indonesia yang sederhana sehingga seluruh kepentingan-kepentingan
terjadi perlawanan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan 1945-1949. Dan
muncul demokrasi parlementer.
Dengan gagalnya penerapan demokrasi
parlementer telah mendorong lahirnya jenis tawaran baru demokrasi yang dikenal
“demokrasi terpimpin”. Sistem politik didukung oleh militer pada periode
berikutnya.
Sejak percobaan kudeta Gerakan 30
September 1965 yang lebih dikenal Gestapu, kekuasaan Presiden Soekarno semakin
melemah. Pada bulan Maret 1967, MPRS mendengarkan Pertanggungjawaban Soekarno
yang telah ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup. (Taufik Abdullah, 2003,
104)
Dengan pidato diberi Nawaksara, yang
berati sembilan pokok masalah, yang berkaitan dengan Gestapu justru tidak
disinggung dalam pidato itu. Karena masalah krusial itu tidak disinggung
Nawaksara, maka MPRS meminta presiden melengkapinya. Soekarno memenuhi tuntutan
itu, tetapi masalah Gestapu tetap misterius seakan melepas tanggung jawab
terhadap tragedi kudeta.
Sementara pihak ABRI mengadakan pendekatan
penyelesaian kepada presiden untuk menyelesaikan konflik, dan harus menyerahkan
kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sehingga muncul Surat Perintah Sebelas Maret
ataupun dikenal SUPERSEMAR.
PEREKONOMIAN
ORDE BARU
Naiknya Soeharto ke pentas nasional tidak
dapat dilepaskan dari demonstrasi mahasiswa dengan Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura),
dan jawaban persiden Soekarno hanya menyempurnakan kabinet yang dikenal
“Seratus Menteri”. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966
diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk bertindak atas
nama pemerintah memecahkan masalah-masalah keamanan dan memulihkan keadaan.
Dalam sidang MPRS terpilihnya AH Nasution
sebagai ketuanya, sehingga mengizinkan Soeharto membentuk kabinet baru yang
dipimpin oleh presidium yang terdiri Soeharto sebagai ketua, Adam Malik Menteri
Luar Negeri dan Sultan Hamengkubuwono IX Menko Urusan Ekonomi sebagai anggota.
Pada masa Orde Baru, Pembangunan: Antara
Harapan dan Kenyataan akan mendorong Soeharto harus membawa Orde Baru ke arah
dua jalur, yaitu komitmen menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen serta melaksanakan pembangunan ekonomi. Jika pembangunan ekonomi
dapat dijalankan dengan baik, maka pembangunan bangsa secara keseluruhan dapat
dilakukan. (Soeharto, 1989, 232)
Pasang surut perekonomian adalah suatu hal
yang alamiah, bahkan seolah menjadi salah satu karakteristik atau sifat dari
perekonomian pasar. Gerak konjungtur suatu perekonomian dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti psikologi optimisme dan pesimisme pelaku ekonomi baik sektor
swasta, sektor rumah tangga, sektor pemerintah maupun sektor luar negeri.
(Mahmud Thoha, 1998, 135)
Pertumbuhan ekonomi tinggi atau gelombang
pasang terkadang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif lama
(misal 5 tahun, 10 tahun atau bahkan lebih), tetapi seringkali hanya dapat
bertahan dalam jangka waktu yang relatif singkat kemudian mengalami gelombang
surut. Gelombang surut tersebut bisa terjadi karena faktor internal maupun
ekternal. Faktor internal dapat berupa kebijakan pemerintah seperti “tight
money policy”, kebijakan surplus anggaran, atau kebijakan fiskal dan investasi
yang bersifat kontraktif. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berada
diluar kendali pemerintah, seperti penurunan harga minyak bumi, kegagalan panen
karena musim kemarau yang panjang atau serangan hama, dan resesi ekonomi dari
negara-negara yang menjadi mitra dagang utama. Faktor-faktor ekonomi tersebut,
baik internal maupun eksternal, baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan
dapat mempengaruhi gerak gelombang pasang surut suatu perekonomian. (Mahmud
Thoha, 1998, 137)
Dalam suatu perekonomian terbuka seperti
sekarang ini, (Mahmud Thoha, 1998, 137) kondisi dan perkembangan perekonomian
suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama pasar yang
didominasi dan dikendalikan oleh para pelaku ekonomi di negara-negara maju.
Selain itu ketidakberesan dan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani
permasalahan-permasalahan sosial, politik dan keamanan di dalam negeri
merupakan sinyal negatif bagi pasar, yang diwujudkan dalam bentuk penurunan
indeks harga saham gabungan (IHSG), dan melemahnya kurs mata uang domestik.
Melalui kebijakan ekspansif, kecenderungan
menurunnya kegiatan ekonomi tersebut dapat dibangkitkan kembali. Tetapi bila
faktor non-ekonomi yang menjadi sebab utama dari kontraksi perekonomian
tersebut, maka kebijakan fiskal dan moneter bisa tumpul atau tidak mampu
mendongkrak kembali perekonomian yang sedang merosot. Dalam situasi ekonomi
seperti ini maka tidak ada resep ekonomi yang mujarab untuk mengobatinya,
karena krisis ekonomi telah berubah menjadi krisis multidimensi dan multiaspek.
Oleh karena itu, permasalahan dan isu utam yang ingin dijawab adalah
faktor-faktor apa saja yang dapat menjelaskan terjadinya konjungtur ekonomi,
terutama krisis ekonomi yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru.
KEBIJAKAN
EKONOMI ORDE BARU
Periode 1969-1982
Akar permasalahan krisis ekonomi dapat
ditelusuri dari serangkaian kebijakan strategis yang diambil pemerintah Orde
Baru sejak memegang tampuk pemerintahan tahun 1968. Kebijakan fiskal yang
bersifat strategis adalah perubahan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dari “deficit budget” menjadi “balance budget” yaitu melalui
sestem anggaran defisit, pemerintah Orde Lama berupaya menutup kesenjangan
negatif antara penerimaan dan pengeluaran negara dengan mencetak uang baru.
Kebijakan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena pada satu sisi
penyelesaian masalah-masalah politik memerlukan dana yang sangat besar, seperti
biaya operasional untuk mengatasi berbagai peristiwa. Belajar dari kegagalan
Orde Lama dalam pengelolaan ekonomi nasional maka beberapa kebijakan strategis
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah sebagai berikut (Emil Salim, 2000):
(Mahmud Thoha, 1998, 238-239)
1.
Membangun kembali infrastruktur
ekonomi yang rusak (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, dll.)
2.
Pengendalian inflasi melalui
kebijakan “balanced budget” atau APBN seimbang dengan cara menutup defisit
anggaran melalui pinjaman luar negeri
3.
Membuka kembali peran ekonomi
terhadap Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
4.
Pencukupan kebutuhan pangan,
dengan menggabungkan kebijaksanaan produksi dengan harga dan operasi cadangan
(bufferstock operation)
5.
Pencukupan kebutuhan sandang
6.
Peningkatan kegiatan ekspor dengan
mengembalikan share eksportir sepenuhnya.
Dampak langsung dari penerapan kebijakan APBN seimbang dan serangkaian
kebijaksanaan tersebut adalah bahwa tingkat inflasi dapat dikendalikan pada
tingkat dua digit.
Konsistensi dalam mempertahankan kebijakan APBN seimbang ini mengakibatkan
pemerintah Orde Baru berhasil mempertahankan tingkat inflasi rata-rata di bawah
10% per tahun. Tercapainya stabilitas politik dan keamanan serta terkendalinya
tingkat inflasi, telah memungkinkan bagi pemerintah untuk meletakkan landasan
yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi. Pembukaan kembali perekonomian Indonesia
bagi PMA dan PMDN serta dengan dukungan negara-negara donor yang tergabung
dalam IGGI (InterGovermental Group on Indonesia) yang diketuai oleh pemerintah
Belanda dan dilanjutkan dengan CGI (Consultative Group on Indonesia) yang
diketuai Bank Dunia merupakan faktor penting yang bertanggungjawab terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, yakni sekitar 7,2% per tahun
selama Orde Baru.
Periode 1983-1997
Kebijakan Deregulasi dan
Liberalisasi Perbankan
Tonggak penting lainnya dalam kebijakan
ekonomi Orde Baru adalah kebijakan deregulasi perbankan 1983. Pemerintah (Bank
Indonesia) tidak lagi campur tangan dalam penentuan suku bunga bank, melainkan
diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Kebijakan ini dapat dianggap
sebagai salah satu tonggak penting di dalam pemerintahan Orde Baru. Sebelum
dikeluarkannya kebijakan deregulasi perbankan tahun 1983, suku bunga bank-bank
pemerintah ditentukan oleh bank sentral. Bank Sentral juga menentukan besarnya
alokasi kredit yang disalurkan ke sektor-sektor produksi sesuai dengan
prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah melalui Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI).
Penentuan suku bunga oleh Bank Sentral
tersebut tentu saja ditetapkan dibawah tingkat bunga pasar dengan pertimbangan
untuk merangsang investasi, yang selanjutnya diharapkan dapat menggerakkan roda
perekonomian dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Alokasi kredit pada
sektor ekonomi dengan berharap dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, kebijakan moneter menekankan suku bunga bank-bank pemerintah pada
tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga pasar (bank swasta)
secara teoritis maupun empiris cenderung menekan jumlah tabungan masyarakat di
lembaga perbankan. Suku bunga riil (suku bunga nominal dikurangi tingkat
inflasi) yang rendah tidak mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di
bank. Akibatnya dana masyarakat yang dapt dimanfaatkan untuk membiayai
pembangunan (melalui kredit bank) juga tidak optimal. Dengan demikian kebijakan
suku bunga rendah yang semula untuk merangsang investasi, dalam kenyataannya
bisa terhambat karena kelangkaan dana investasi itu sendiri. Oleh karena itu
kebijakan deregulasi perbankan yang dikeluarkan melalui paket kebijakan Juni 1983
(PAKJUN 1983) merupakan tonggak penting dalam sejarah kebijakan ekonomi Orde
Baru karena pemerintah melapaskan kendali dalam penentuan suku bunga kepada
mekanisme pasar.
Melalui kebijakan tersebut, bank
pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapakan suku bunga secara mandiri.
Dampak nyata secara langsung dari kebijakan tersebut adalah meningkatnya suku
bunga perbankan, karena setiap bank bersaing dalam memperebutkan dana
masyarakat yang terbatas. Persaingan tersebut semakin ketat dengan
dikeluarkannya kebijakan liberalisasi perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober
1988 (PAKTO 1988). Melalui kebijakan ini pemerintah memberikan kemudahan dan
keleluasan bagi sektor swasta nasional untuk mendirikan bank baru atau
memperluas cabang bank diseluruh tanah air. Dampak langsung dari PAKTO 1988
adalah semakin banyaknya jumlah bank nasional maupun kantor cabang bank-bank
asing di kota-kota besar. Demikian pula Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
bermunculan di berbagai kota dan kecamatan dalam jumlah sangat besar. Akibat
selanjutnya semakin bertambah sengitnya persaingan antar bank dalam
memperebutkan dana masyarakat. Posisi pasar dana yang demikian mengakibatkan
suku bunga bertambah tinggi.
Deregulasi perbankan 1983 dan liberalisasi
perbankan 1988 yang menjadi bibit terjadinya krisis ekonomi saat ini, dengan
alasan bahwa meningkatnya suku bunga pinjaman rupiah telah mengakibatkan banyak
pelaku ekonomi melakukan pinjaman dalam bentuk valuta asing, terutama dolar AS,
dengan pertimbangan bahwa tingkat bunga riil pinjaman dalam US$ masih lebih
rendah dibandingkan dalam rupiah. Dorongan untuk melakukan pinjaman asing oleh
sektor swasta ini bertambah besar dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 39 Tahun
1991 yang memberikan kebebasan kepada swasta untuk melakukan pinjaman keuangan
pada bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan internasional dengan kewajiban yang
sangat ringan yaitu hanya melaporkan pelaksanaannya kepada Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia.
Kebijakan-kebijakan strategis di bidang
perbankan tersebut mempunyai beberapa titik lemah, adalah sebagai berikut:
Pertama, Kebiasaan bank-bank pemerintah menyalurkan kredit berdasarkan petunjuk
dan pengarahan dari Bank Sentral dan intervensi dari orang-orang kuat telah
mengakibatkan mandulnya studi kelayakan kredit secara rasional. Kedua,
Deregulasi sektor moneter tidak didahului oleh deregulasi sektor riil atau
penataan struktur pasar terutama dalam bentuk Undang-Undang Anti Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Akibatnya, peluang usaha dan kredit lebih banyak dimanfaatkan oleh para
pengusaha kelas kakap dibandingkan dengan pengusaha kelas menengah, kecil dan
gurem. Dari segi resiko bagi pihak bank untuk mengucurkan kredit dalam jumlah
besar kepada beberapa pengusaha kakap daripada melayani kredit kecil dan mikro
kepada sejumlah besar pengusaha kecil dan menengah. Ketiga, budya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi sangat kuat, sehingga tugas
pengawasan dari Bank Sentral terhadap bank umum tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Kebijakan Hutang Luar Negeri
Hipeinflasi yang diwariskan oleh
pemerintah Orde Lama tampaknya merupakan peristiwa traumatik yang ingin
dilupakan untuk selama-lamanya bagi pemerintah Orde Baru. Solusinya adalah
kebijakan fiskal defisit yang ditutup dengan pinjaman luar negeri, bukan dengan
mencetak uang baru. Kebijakan ini tidak akan menimbulkan inflasi, karena
meskipun pinjaman luar negeri tetap akan menambah jumlah uang yang beredar
(melalui penambahan uang rupiah sebesar nilai lawan perolehan divisa yang
berasal dari pinjaman luar negeri), tetapi dalam waktu bersamaan pinjaman luar
negeri tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengimpor komoditi sehingga tercapai
keseimbangan di antara jumlah barang dan jumlah uang yang beredar. Hutang luar
negeri akan menjadi masalah bila penggunaannya tidak benar atau secara ekonomis
tidak efisien. Masalah juga muncul bila hutang luar negeri telah jatuh tempo
dalam jumlah yang sangat besar, di luar batas kemampuan negara untuk
membayarnya.
Di dalam GBHN yang dikeluarkan MPR setiap
lima tahun, selalu disebutkan bahwa pada prinsip hutang luar negeri bersifat
pelengkap dalam pembiayaan pembangunan. Dalam kenyataannya jumlah hutang luar
negeri pemerintah dari tahun ke tahun bukannya menurun melainkan bertambah
besar, dan dalam beberapa tahun terakhir telah berada di atas ambang batas
aman. Dilihat dari besarnya pinjaman baru atau besarnya angsuran pokok pinjaman
plus bunga yang harus dibayar tampaknya Indonesia telah masuk dalam perangkap
hutang luar negeri, karena pinjaman yang baru digunakan untuk membiayai hutang
lama yang telah jatuh tempo.
Perkembangan pinjaman Luar Negeri
Indonesia mengalami peningkatan cukup tinggi sejak 1993 dan mencapai puncaknya
pada tahun 1998. Dalam rangka pemulihan
kepercayaan perbankan internasional, telah dilakukan berbagai upaya serangkaian
negosiasi antara delegasi Indonesia dengan pihak perbankan dalam berbagai forum
seperti pertemuan New York, Tokyo dan Frankfurt selama bulan April hingga Juni
1998. Serangkaian pertemuan tersebut pada dasarnya untuk merundingkan kerangka dasar
penyelesaian utang perbankan, trade finance dan utang perusahaan swasta
Indonesia. Dalam berbagai pertemuan tersebut selain dihadiri oleh delegasi
Indonesia dan Steering Committe Perbankan Internasional juga dihadiri oleh
perwakilan dari IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).
Sistem Kurs Devisa
Kurs mata uang negara-negara Asia Tenggara
dimulai dengan jatuhnya mata uang Baht Thailand pada bulan Juni 1997, diikuti
dengan Peso Filipina, Dolar Singapura dan Ringgit Malaysia, akhirnya pada bulan
Juli 1997 Indonesia mulai terkena wabah efek domino dari krisis moneter
internasional negara-negara tetangga tersebut. Begitu dahsyatnya wabah tersebut
sehingga sejak bulan Oktober 1997 pemerintah tidak mampu lagi mempertahankan
sistem kurs devisa mengambang terkendali yang dianut selama ini.
Lebih dari 2 abad yang lalu, ahli ekonomi
modern Adam Smith telah mengemukakan kekuatan mekanisme pasar sebagai pengatur
dan pengendali lalu lintas perekonomian. Melalui proses tarik-menarik antara
kekuatan permintaan dan penawaran, secara otomatis perekonomian akan mengarah
pada efisiensi dan kemakmuran, sehingga secara ekstrem dikemukakan bahwa
pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian, kecuali dalam
bidang-bidang yang tidak bisa ditangani oleh sektor swasta, yaitu melaksanakan
peradilan dan pertahanan/keamanan serta menyediakan barang-barang yang tidak
disediakan oleh pihak swasta seperti jalan, jembatan, waduk dan sebagainya.
Secara implisit hal itu juga mengandung makna bahwa pemerintah tidak perlu campur
tangan dalam mengatur kurs devisa. Jatuhnya Uni Soviet sebagai negara utama
penganut paham sosialis-komunis pada akhir dasawarsa 1980-an dan bergesernya
sistem perekonomian RRC dari perencanaan terpusat ke perekonomian pasar
merupakan bukti-bukti paling kuat dari kebenaran Adam Smith yang secara singkat
dapat dinyatakan bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu mengatur perekonomian
secara lebih baik.
Dari Multiple Exchange Rate
ke Fixed Exchange Rate ke Managed Flooating Exchange Rate
Ketidakpercayaan pemerintah (Indonesia)
terhadap keampuhan mekanisme pasar dapat dilihat dari sistem kurs devisa yang
dianut, pada kenyataan langkanya jumlah devisa yang dimiliki, pemerintah Orde
Lama mengambil sikap untuk menganut sistem pengawasan devisa. Artinya, pemerintah
perlu mengawasi penggunaan devisa agar dapat dimanfaatkan untuk transaksi yang
benar-benar sesuai dengan prioritas program pemerintah saat itu, yang secara
operasional dilakukan dengan menggunakan lisensi atau surat izin impor. Guna
mencapai sasaran tersebut pemerintah melakukan alokasi devisa pada berbagai
tingkat kurs. Devisa yang digunakan untuk mengimpor barang-barang yang
mempunyai prioritas tinggi (versi pemerintah) dapat dibeli dengan harga yang
lebih murah dibandingkan dengan impor barang-barang dengan prioritas yang lebih
rendah. Meskipun demikian, sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, di
antaranya adalah diperlukan administrasi untuk mengoperasionalkannya, dan
munculnya pasar devisa gelap. Selain itu, sistem ini juga mendudukkan birokrat
pada posisi yang sangat kuat dibandingkan dengan importir sehingga godaan
terhadap kolusi, korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang sangat
besar.
Menyadari akan kelemahan tersebut, pemerintah
Orde Baru mulai melepaskan pengawasan devisa dan penganut sistem devisa bebas
serta mengganti multiple exchange rate system menjadi fixed exchange rate.
Dengan sistem kurs devisa tetap, pemerintah menetapkan kurs sebesar Rp 415,- US
dolar berlaku 1971. Resikonya adalah bahwa pemerintah perlu mempertahankan tingkat
kurs tersebut dengan cara mensuplai devisa bila kurs pasar lebih tinggi
daripada kurs yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya pemerintah akan membeli
devisa (dengan rupiah) bila kurs pasar lebih rendah dari floor price yang
ditetapkan (meskipun ini tidak pernah terjadi). Krisis Pertamina tahun 1975
telah mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa, sehingga pemerintah pada tahun
1978 merasa perlu untuk mengisi kendali devisanya dengan melakukan devaluasi
dari Rp 415,- menjadi Rp 625,- per US dolar. Kemudian resesi ekonomi dunia
telah memaksa pemerintah untuk melakukan devaluasi lagi sebesar 28% pada tahun
1983, dan terakhir terjadi devaluasi lagi tahun 1986. Pengamat ekonomi Prof.
Sumitro Djojohadikusumo mengemukakan pendapat bahwa pemerintah tidak akan
melakukan devaluasi mengingat bahwa cadangan davisa pada waktu itu cukup untuk
memenuhi kebutuhan impor selama 5-6 bulan.
Sejak dikeluarkannya devaluasi 1986,
pemerintah melepaskan sistem kurs devisa tetap dan menganut sistem kurs devisa
mengambang terkendali. Dengan sistem yang baru ini kurs devisa diserahkan pada
kekuatan pasar tetapi pemerintah akan campur tangan bila fluktuasi kurs pasar
melewati rentang kendali yang ditetapkan. Sejak itu pula pemerintah merasa
tidak perlu lagi mempertahankan kurs divisa riil dengan melakukan devaluasi
secara dadakan melainkan secara rutin sekitar 5% per tahun, sampai akhirnya
digoncang oleh krisis moneter internasional.
Ambruknya Sistem Kurs Devisa
Mengambang Terkendali
Salah satu kelemahan dasar dari sistem
kurs devisa mmengambang terkendali adalah diperlukannya cadangan devisa yang
cukup besar untuk intervensi pasar agar depresiasi mata uang domestik tidak
lebih besar dari target yang diinginkan. Prasyaratnya adalah fundamental
ekonomi harus cukup kuat. Ditinjau dari aspek cadangan devisa, fundamental
ekonomi Indonesia sebenarnya memang belum cukup kuat. Dibandingkan dengan tahun
1986, cadangan devisa secara absolut memang meningkat yaitu dari sekitar US $ 7
miliar menjadi US$ 21 miliar tahun 1997. Namun demikian secara kualitatif
cadangan devisa hanya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan impor, tidak hanya
itu melainkan juga membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman hutang luar negeri
baik pemerintah maupun swasta yang sudah jatuh tempo.
Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk
mempertahankan sistem kurs devisa mengambang terkendali dengan berbagai macam
cara, antara lain dengan meningktkan suku bunga SBI agar kelebihan likuiditas
bank umum dapat disedot oleh Bank Sentral. Selain itu, juga memperketat likuiditas
moneter dan menarik dana perusahaan-perusahaan milik negara pada bank-bank umum
dengan tujuan untuk memperlemah kemampuan dan mencegah masyarakat untuk
berspekulasi. Pemerintah juga memperlebar rentang intervensi kurs dengan maksud
agar cadangan devisa tidak habis dipakaiuntuk intervensi pasar dalam rangka
menghambat laju depresiasi rupiah. Upaya untuk memperkuat fundamental ekonomi itu
identik dengan pembangunan itu sendiri yang memerlukan kesabaran, keuletan dan
kepiawaian serta komitmen yang kuat untuk mewujudkannya dalam jangka waktu yang
lama. Perwujudan tersebut dapat dipercepat seiring dengan kemauan dan kemampuan
pemerintah untuk mengurangi dan secara bertahap mengahapuskan berbagai bentuk
distorsi ekonomi terutama monopoli dan berbagai bentuk kekuasaan pasar lainnya
serta ketidakefisienan birokrasi pemerintah.
KESIMPULAN
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa
Demokrasi Terpimpin, pemerintah menempuh cara : Mengeluarkan Ketetapan MPRS
No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan
pembangunan. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program
penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari
kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin
berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Program
Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan
kebutuhan pokok melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir
1967- awal 1968), Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968
berdasarkan Tap MPRS No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan
pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang,
pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu kestabilan ekonomi nasional
relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta
asing dapat diatasi. Program Rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan
berproduksi. Selama 10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada
prasarana ekonomi dan sosial. Lembaga perkreditan desa, gerakan koprasi,
perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan
kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga tidak dapat melaksanakan fungsinya
sebagai penyusun dan perbaikan tata hidup masyarakat.
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru
dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala
bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan
Jalur Pemerataan. Inti dari
kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam
suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembagunan adalah
sebagai berikut:
1.
Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi.
3.
Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
Dampak
Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
·
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun
dapat terlihat secara konkrit.
·
Indonesia mengubah status dari
negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras
sendiri (swasembada beras).
·
Penurunan angka kemiskinan yang
diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
·
Penurunan angka kematian bayi dan
angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Dampak
Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
·
Kerusakan serta pencemaran
lingkungan hidup dan sumber daya alam
·
Perbedaan ekonomi antardaerah,
antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.
·
Terciptalah kelompok yang
terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
·
Menimbulkan konglomerasi dan bisnis
yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
·
Pembagunan yang dilakukan hasilnya
hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan
cenderung terpusat dan tidak merata.
·
Pembangunan hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang
demokratis dan berkeadilan.
·
Meskipun pertumbuhan ekonomi
meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.
·
Pembagunan tidak merata tampak
dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang
devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang
selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia
menjelang akhir tahun 1997.
Perwujudan
tersebut dapat dipercepat seiring dengan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk
mengurangi dan secara bertahap mengahapuskan berbagai bentuk distorsi ekonomi
terutama monopoli dan berbagai bentuk kekuasaan pasar lainnya serta
ketidakefisienan birokrasi pemerintah.
Berkat
stabilitas politik dan keamanan yang mantap dan kebijakan-kebijakan ekonomi
makro yang cenderung pro-pasar, maka prestasi pembangunan ekonomi pemerintahan
Orde Baru dapat dikatakan sangat berhasil ditinjau dari tinggi laju pertumbuhan
eknomi, terkendali laju inflasi dan menurunnya jumlah penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank
nasional sebagaimana terlihat dari adanya penarikan dana secara besar-besaran
dari bank-bank yang dianggap kurang sehat ke bank-bank lainnya dianggap lebih
sehat.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik
(ed), Krisis Masa Kini dan Orde Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Harian
Pelita 22 November 2012
Santoso, Priyo Budi,
Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Sruktural (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997)
Soeharto, Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1989)
Thoha, Mahmud, Dampak
Persetujuan Putaran Uruguay-GATT terhadap Industri Kecil (Jakarta: UI-Press,
1998)