Kamis, 04 Juli 2013

Soemodilogo: Satu Keluarga Tiga Bupati


Jer basuki mawa beya. Pepatah ini dipegang teguh oleh Aryo Soemodilogo. Gelar Raden Tumenggung (RT) dan kamulyan sebagai Bupati Menoreh, secara sadar ia bayar dengan kerelaannya berperang melawan Pangeran Diponegoro. Soemodilogo bahkan belum pula sempat menjalankan tugas sebagai bupati, karena Perang Jawa itu keburu meletus.
Tumenggung Soemodilogo pun jadi salah satu komandan pasukan “sekutu”, yang terdiri dari serdadu Belanda, Legiun Mangkunegaran, prajurit Kasunanan Solo, dan sejumlah bupati prokumpeni lainnya. ‘’Batalyon’’ Soemodilogo berkedudukan di Parakan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dalam satu pertempuran, pasukannya hancur lebur diterjang prajurit Diponegoro. RT Soemodilogo tewas (Sutherhand, 1974, Cornell University).
Cerita yang beredar di kalangan masyarakat Temanggung menuturkan, bahwa sebagai bukti keberhasil operasinya, laskar Diponegoro mengambil mustaka (kepala) sang bupati dan memperlihatkannya ke hadapan sang Pangeran Heru Cokro di markas komandonya, Selarong. Maka, hingga kini anak cucu mendiang, yang tergabung dalam paguyuban trah Soemodilagan, biasa nyekar pepundennya itu di dua tempat : di Parakan dan Selarong.
Pembesar yang menjadi korban panasnya Perang Jawa bukan hanya Aryo Soemodilogo. Tumenggung Danuningrat I, Bupati Magelang, menurut Sutherhand, mengalami nasib serupa. Bahkan, pasukan Belanda yang dipimpin veteran Perang Napoleon Jenderal Van Green, pun lumat diterjang laskar Diponegoro.
Sebagaimana bupati lain yang diangkat oleh Gubernur Jenderal Phillip Van der Capellen (1816-1826), Soemodilogo juga berasal dari keluarga penguasa yang dulunya menjadi bawahan Mataram. Ia adalah putera Raden Soemowerdojo, Patih Semarang. Sedangkan kakeknya adalah Bupati Semarang Raden Tumenggung Soemohadimenggolo.
Tradisi Van der Capellen itu berlanjut hingga 1850-an, untuk bupati-bupati pesisir Utara misalnya, umumnya diambil dari keluarga Bupati Semarang, Demak, Jepara, atau Pati. Untuk wilayah Jawa Tengah bagian Barat, yang dipromosikan kerabat Bupati Banyumas Yudonegoro. Keluarga Kolopaking dan Arumbinang untuk wilayah Begalen. Begitu pula yang terjadi di Jawa Timur.
Namun, dalam daftar resmi bupati Temanggung, nama RT Aryo Soemodilogo justru tidak tercantum. Yang tercatat sebagai Bupati Temanggung pertama adalah RT Joyo Negoro (1834-1848). Hal ini terjadi karena sebelumnya Kabupaten Temanggung itu disebut Kabupaten Menoreh yang pusat pemerintahannya di Parakan. Tapi, kabupaten Manoreh itu tak berumur panjang, karena hanya sementara. Namanya kemudian diganti Kabupaten Temanggung, dan ibukotanya pun di Temanggung.
Masjid Jami’ dan alun-alun adalah bukti kelahiran kabupaten Temanggung. Sayang, dalem kabupatennya sendiri yang asli telah terbakar sebagai akibat dari taktik bumi hangus dalam revolusi kemerdekaan.
Meski Tumenggung Aryo Soemodilogo tidak sempat menjalankan misi pemerintahan di Menoreh/Temanggung, pemerintah kolonial tak melupakan pengorbanannya. Terbukti setelah RT Djojo Negoro lengser 1848, diangkatlah putera Soemodilogo menjadi bupati Temanggung. Ia menjadi Radem Tumenggung Soemodilogo II.
Atas persetujuan Batavia, Soemodilogo II boleh memakai kata Holland sebagai nama depannya. Jadilah dia RT Holland Soemodilogo yang menjabat bupati selama 30 tahun. Sebelum pensiun, ia naik pangkat dengar gelar Kanjeng Raden Adipati.
Keluarga Soemodilogo masih mendapat kepercayaan sekali lagi memimpin Temanggung melalui RT Holland Soemodirdjo, putera Soemodilogo II. Tidak jelas mengapa ia hanya menjabat selama 4 tahun (1878-1882). Ia digantikan RT Tjokro Atmodjo (1882-1906) dan kemudian RM Adipati Tjokro Adikoesoemo (1906-1023), salah seorang bupati yang progresif untuk ukuran zamannya. Ayah dari mantan Gubernur DKI (alm) Tjokro Pranolo itu termasuk segelintir bupati yang mendukung gerakan Boedi Oetomo.
Dengan tiga nama yang pernah menjadi penguasa di Temanggung, tak heran bila nama nama Soemodilogo melegenda di lembah Sumbing-Sindoro, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.(Putut Trihusodo)

EKONOMI ORDE BARU

PENDAHULUAN
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Baru dalam dua dasawarsa terakhir, sejak permulaan pemerintah Orde Baru tahun 1966, yang sejalan dengan pergeseran pusat perhatian dari masalah pembinaan bangsa ke masalah pembangunan ekonomi, muncul perhatian yang serius untuk menata kembali suatu sistem politik yang diharapkan akan dapat menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut. Proses ini semakin jelas ketika negara karena prioritas pembangunan ekonominya yang berorientasi pada pertumbuhan, mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi Internasional yang bercorak kapitalis. Dengan demikian pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan keterikatan Internasional mempunyai signifikansi tertentu dalam memahami karakteristik kepolitikan dan birokrasi di Indonesia.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan GolkarTNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.

KEHIDUPAN MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Pada awal kemerdekan RI pada tahun 1945 adalah masa-masa sulit bagi awal perkembangan ekonomi yang berawal dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sederhana sehingga seluruh kepentingan-kepentingan terjadi perlawanan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan 1945-1949. Dan muncul demokrasi parlementer.
Dengan gagalnya penerapan demokrasi parlementer telah mendorong lahirnya jenis tawaran baru demokrasi yang dikenal “demokrasi terpimpin”. Sistem politik didukung oleh militer pada periode berikutnya.
Sejak percobaan kudeta Gerakan 30 September 1965 yang lebih dikenal Gestapu, kekuasaan Presiden Soekarno semakin melemah. Pada bulan Maret 1967, MPRS mendengarkan Pertanggungjawaban Soekarno yang telah ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup. (Taufik Abdullah, 2003, 104)
Dengan pidato diberi Nawaksara, yang berati sembilan pokok masalah, yang berkaitan dengan Gestapu justru tidak disinggung dalam pidato itu. Karena masalah krusial itu tidak disinggung Nawaksara, maka MPRS meminta presiden melengkapinya. Soekarno memenuhi tuntutan itu, tetapi masalah Gestapu tetap misterius seakan melepas tanggung jawab terhadap tragedi kudeta.
Sementara pihak ABRI mengadakan pendekatan penyelesaian kepada presiden untuk menyelesaikan konflik, dan harus menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sehingga muncul Surat Perintah Sebelas Maret ataupun dikenal SUPERSEMAR.

PEREKONOMIAN ORDE BARU
Naiknya Soeharto ke pentas nasional tidak dapat dilepaskan dari demonstrasi mahasiswa dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura),[1] dan jawaban persiden Soekarno hanya menyempurnakan kabinet yang dikenal “Seratus Menteri”. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk bertindak atas nama pemerintah memecahkan masalah-masalah keamanan dan memulihkan keadaan.
Dalam sidang MPRS terpilihnya AH Nasution sebagai ketuanya, sehingga mengizinkan Soeharto membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh presidium yang terdiri Soeharto sebagai ketua, Adam Malik Menteri Luar Negeri dan Sultan Hamengkubuwono IX Menko Urusan Ekonomi sebagai anggota.
Pada masa Orde Baru, Pembangunan: Antara Harapan dan Kenyataan akan mendorong Soeharto harus membawa Orde Baru ke arah dua jalur, yaitu komitmen menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta melaksanakan pembangunan ekonomi. Jika pembangunan ekonomi dapat dijalankan dengan baik, maka pembangunan bangsa secara keseluruhan dapat dilakukan. (Soeharto, 1989, 232)
Pasang surut perekonomian adalah suatu hal yang alamiah, bahkan seolah menjadi salah satu karakteristik atau sifat dari perekonomian pasar. Gerak konjungtur suatu perekonomian dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti psikologi optimisme dan pesimisme pelaku ekonomi baik sektor swasta, sektor rumah tangga, sektor pemerintah maupun sektor luar negeri. (Mahmud Thoha, 1998, 135)
Pertumbuhan ekonomi tinggi atau gelombang pasang terkadang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif lama (misal 5 tahun, 10 tahun atau bahkan lebih), tetapi seringkali hanya dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif singkat kemudian mengalami gelombang surut. Gelombang surut tersebut bisa terjadi karena faktor internal maupun ekternal. Faktor internal dapat berupa kebijakan pemerintah seperti “tight money policy”, kebijakan surplus anggaran, atau kebijakan fiskal dan investasi yang bersifat kontraktif. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berada diluar kendali pemerintah, seperti penurunan harga minyak bumi, kegagalan panen karena musim kemarau yang panjang atau serangan hama, dan resesi ekonomi dari negara-negara yang menjadi mitra dagang utama. Faktor-faktor ekonomi tersebut, baik internal maupun eksternal, baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan dapat mempengaruhi gerak gelombang pasang surut suatu perekonomian. (Mahmud Thoha, 1998, 137)
Dalam suatu perekonomian terbuka seperti sekarang ini, (Mahmud Thoha, 1998, 137) kondisi dan perkembangan perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama pasar yang didominasi dan dikendalikan oleh para pelaku ekonomi di negara-negara maju. Selain itu ketidakberesan dan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan sosial, politik dan keamanan di dalam negeri merupakan sinyal negatif bagi pasar, yang diwujudkan dalam bentuk penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG), dan melemahnya kurs mata uang domestik.
Melalui kebijakan ekspansif, kecenderungan menurunnya kegiatan ekonomi tersebut dapat dibangkitkan kembali. Tetapi bila faktor non-ekonomi yang menjadi sebab utama dari kontraksi perekonomian tersebut, maka kebijakan fiskal dan moneter bisa tumpul atau tidak mampu mendongkrak kembali perekonomian yang sedang merosot. Dalam situasi ekonomi seperti ini maka tidak ada resep ekonomi yang mujarab untuk mengobatinya, karena krisis ekonomi telah berubah menjadi krisis multidimensi dan multiaspek. Oleh karena itu, permasalahan dan isu utam yang ingin dijawab adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menjelaskan terjadinya konjungtur ekonomi, terutama krisis ekonomi yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru.

KEBIJAKAN EKONOMI ORDE BARU
Periode 1969-1982
Akar permasalahan krisis ekonomi dapat ditelusuri dari serangkaian kebijakan strategis yang diambil pemerintah Orde Baru sejak memegang tampuk pemerintahan tahun 1968. Kebijakan fiskal yang bersifat strategis adalah perubahan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari “deficit budget” menjadi “balance budget” yaitu melalui sestem anggaran defisit, pemerintah Orde Lama berupaya menutup kesenjangan negatif antara penerimaan dan pengeluaran negara dengan mencetak uang baru. Kebijakan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena pada satu sisi penyelesaian masalah-masalah politik memerlukan dana yang sangat besar, seperti biaya operasional untuk mengatasi berbagai peristiwa. Belajar dari kegagalan Orde Lama dalam pengelolaan ekonomi nasional maka beberapa kebijakan strategis yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah sebagai berikut (Emil Salim, 2000): (Mahmud Thoha, 1998, 238-239)
1.      Membangun kembali infrastruktur ekonomi yang rusak (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, dll.)
2.      Pengendalian inflasi melalui kebijakan “balanced budget” atau APBN seimbang dengan cara menutup defisit anggaran melalui pinjaman luar negeri
3.      Membuka kembali peran ekonomi terhadap Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
4.      Pencukupan kebutuhan pangan, dengan menggabungkan kebijaksanaan produksi dengan harga dan operasi cadangan (bufferstock operation)
5.      Pencukupan kebutuhan sandang
6.      Peningkatan kegiatan ekspor dengan mengembalikan share eksportir sepenuhnya.
Dampak langsung dari penerapan kebijakan APBN seimbang dan serangkaian kebijaksanaan tersebut adalah bahwa tingkat inflasi dapat dikendalikan pada tingkat dua digit.[2] Konsistensi dalam mempertahankan kebijakan APBN seimbang ini mengakibatkan pemerintah Orde Baru berhasil mempertahankan tingkat inflasi rata-rata di bawah 10% per tahun. Tercapainya stabilitas politik dan keamanan serta terkendalinya tingkat inflasi, telah memungkinkan bagi pemerintah untuk meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi. Pembukaan kembali perekonomian Indonesia bagi PMA dan PMDN serta dengan dukungan negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI (InterGovermental Group on Indonesia) yang diketuai oleh pemerintah Belanda dan dilanjutkan dengan CGI (Consultative Group on Indonesia) yang diketuai Bank Dunia merupakan faktor penting yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, yakni sekitar 7,2% per tahun selama Orde Baru.

Periode 1983-1997
Kebijakan Deregulasi dan Liberalisasi Perbankan
Tonggak penting lainnya dalam kebijakan ekonomi Orde Baru adalah kebijakan deregulasi perbankan 1983. Pemerintah (Bank Indonesia) tidak lagi campur tangan dalam penentuan suku bunga bank, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Kebijakan ini dapat dianggap sebagai salah satu tonggak penting di dalam pemerintahan Orde Baru. Sebelum dikeluarkannya kebijakan deregulasi perbankan tahun 1983, suku bunga bank-bank pemerintah ditentukan oleh bank sentral. Bank Sentral juga menentukan besarnya alokasi kredit yang disalurkan ke sektor-sektor produksi sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Penentuan suku bunga oleh Bank Sentral tersebut tentu saja ditetapkan dibawah tingkat bunga pasar dengan pertimbangan untuk merangsang investasi, yang selanjutnya diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Alokasi kredit pada sektor ekonomi dengan berharap dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kebijakan moneter menekankan suku bunga bank-bank pemerintah pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga pasar (bank swasta) secara teoritis maupun empiris cenderung menekan jumlah tabungan masyarakat di lembaga perbankan. Suku bunga riil (suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) yang rendah tidak mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank. Akibatnya dana masyarakat yang dapt dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan (melalui kredit bank) juga tidak optimal. Dengan demikian kebijakan suku bunga rendah yang semula untuk merangsang investasi, dalam kenyataannya bisa terhambat karena kelangkaan dana investasi itu sendiri. Oleh karena itu kebijakan deregulasi perbankan yang dikeluarkan melalui paket kebijakan Juni 1983 (PAKJUN 1983) merupakan tonggak penting dalam sejarah kebijakan ekonomi Orde Baru karena pemerintah melapaskan kendali dalam penentuan suku bunga kepada mekanisme pasar.
Melalui kebijakan tersebut, bank pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapakan suku bunga secara mandiri. Dampak nyata secara langsung dari kebijakan tersebut adalah meningkatnya suku bunga perbankan, karena setiap bank bersaing dalam memperebutkan dana masyarakat yang terbatas. Persaingan tersebut semakin ketat dengan dikeluarkannya kebijakan liberalisasi perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988). Melalui kebijakan ini pemerintah memberikan kemudahan dan keleluasan bagi sektor swasta nasional untuk mendirikan bank baru atau memperluas cabang bank diseluruh tanah air. Dampak langsung dari PAKTO 1988 adalah semakin banyaknya jumlah bank nasional maupun kantor cabang bank-bank asing di kota-kota besar. Demikian pula Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bermunculan di berbagai kota dan kecamatan dalam jumlah sangat besar. Akibat selanjutnya semakin bertambah sengitnya persaingan antar bank dalam memperebutkan dana masyarakat. Posisi pasar dana yang demikian mengakibatkan suku bunga bertambah tinggi.
Deregulasi perbankan 1983 dan liberalisasi perbankan 1988 yang menjadi bibit terjadinya krisis ekonomi saat ini, dengan alasan bahwa meningkatnya suku bunga pinjaman rupiah telah mengakibatkan banyak pelaku ekonomi melakukan pinjaman dalam bentuk valuta asing, terutama dolar AS, dengan pertimbangan bahwa tingkat bunga riil pinjaman dalam US$ masih lebih rendah dibandingkan dalam rupiah. Dorongan untuk melakukan pinjaman asing oleh sektor swasta ini bertambah besar dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 39 Tahun 1991 yang memberikan kebebasan kepada swasta untuk melakukan pinjaman keuangan pada bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan internasional dengan kewajiban yang sangat ringan yaitu hanya melaporkan pelaksanaannya kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Kebijakan-kebijakan strategis di bidang perbankan tersebut mempunyai beberapa titik lemah, adalah sebagai berikut: Pertama, Kebiasaan bank-bank pemerintah menyalurkan kredit berdasarkan petunjuk dan pengarahan dari Bank Sentral dan intervensi dari orang-orang kuat telah mengakibatkan mandulnya studi kelayakan kredit secara rasional. Kedua, Deregulasi sektor moneter tidak didahului oleh deregulasi sektor riil atau penataan struktur pasar terutama dalam bentuk Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[3] Akibatnya, peluang usaha dan kredit lebih banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha kelas kakap dibandingkan dengan pengusaha kelas menengah, kecil dan gurem. Dari segi resiko bagi pihak bank untuk mengucurkan kredit dalam jumlah besar kepada beberapa pengusaha kakap daripada melayani kredit kecil dan mikro kepada sejumlah besar pengusaha kecil dan menengah. Ketiga, budya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi sangat kuat, sehingga tugas pengawasan dari Bank Sentral terhadap bank umum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kebijakan Hutang Luar Negeri
Hipeinflasi yang diwariskan oleh pemerintah Orde Lama tampaknya merupakan peristiwa traumatik yang ingin dilupakan untuk selama-lamanya bagi pemerintah Orde Baru. Solusinya adalah kebijakan fiskal defisit yang ditutup dengan pinjaman luar negeri, bukan dengan mencetak uang baru. Kebijakan ini tidak akan menimbulkan inflasi, karena meskipun pinjaman luar negeri tetap akan menambah jumlah uang yang beredar (melalui penambahan uang rupiah sebesar nilai lawan perolehan divisa yang berasal dari pinjaman luar negeri), tetapi dalam waktu bersamaan pinjaman luar negeri tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengimpor komoditi sehingga tercapai keseimbangan di antara jumlah barang dan jumlah uang yang beredar. Hutang luar negeri akan menjadi masalah bila penggunaannya tidak benar atau secara ekonomis tidak efisien. Masalah juga muncul bila hutang luar negeri telah jatuh tempo dalam jumlah yang sangat besar, di luar batas kemampuan negara untuk membayarnya.
Di dalam GBHN yang dikeluarkan MPR setiap lima tahun, selalu disebutkan bahwa pada prinsip hutang luar negeri bersifat pelengkap dalam pembiayaan pembangunan. Dalam kenyataannya jumlah hutang luar negeri pemerintah dari tahun ke tahun bukannya menurun melainkan bertambah besar, dan dalam beberapa tahun terakhir telah berada di atas ambang batas aman. Dilihat dari besarnya pinjaman baru atau besarnya angsuran pokok pinjaman plus bunga yang harus dibayar tampaknya Indonesia telah masuk dalam perangkap hutang luar negeri, karena pinjaman yang baru digunakan untuk membiayai hutang lama yang telah jatuh tempo.
Perkembangan pinjaman Luar Negeri Indonesia mengalami peningkatan cukup tinggi sejak 1993 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.  Dalam rangka pemulihan kepercayaan perbankan internasional, telah dilakukan berbagai upaya serangkaian negosiasi antara delegasi Indonesia dengan pihak perbankan dalam berbagai forum seperti pertemuan New York, Tokyo dan Frankfurt selama bulan April hingga Juni 1998. Serangkaian pertemuan tersebut pada dasarnya untuk merundingkan kerangka dasar penyelesaian utang perbankan, trade finance dan utang perusahaan swasta Indonesia. Dalam berbagai pertemuan tersebut selain dihadiri oleh delegasi Indonesia dan Steering Committe Perbankan Internasional juga dihadiri oleh perwakilan dari IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).

Sistem Kurs Devisa
Kurs mata uang negara-negara Asia Tenggara dimulai dengan jatuhnya mata uang Baht Thailand pada bulan Juni 1997, diikuti dengan Peso Filipina, Dolar Singapura dan Ringgit Malaysia, akhirnya pada bulan Juli 1997 Indonesia mulai terkena wabah efek domino dari krisis moneter internasional negara-negara tetangga tersebut. Begitu dahsyatnya wabah tersebut sehingga sejak bulan Oktober 1997 pemerintah tidak mampu lagi mempertahankan sistem kurs devisa mengambang terkendali yang dianut selama ini.
Lebih dari 2 abad yang lalu, ahli ekonomi modern Adam Smith telah mengemukakan kekuatan mekanisme pasar sebagai pengatur dan pengendali lalu lintas perekonomian. Melalui proses tarik-menarik antara kekuatan permintaan dan penawaran, secara otomatis perekonomian akan mengarah pada efisiensi dan kemakmuran, sehingga secara ekstrem dikemukakan bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian, kecuali dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani oleh sektor swasta, yaitu melaksanakan peradilan dan pertahanan/keamanan serta menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta seperti jalan, jembatan, waduk dan sebagainya. Secara implisit hal itu juga mengandung makna bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam mengatur kurs devisa. Jatuhnya Uni Soviet sebagai negara utama penganut paham sosialis-komunis pada akhir dasawarsa 1980-an dan bergesernya sistem perekonomian RRC dari perencanaan terpusat ke perekonomian pasar merupakan bukti-bukti paling kuat dari kebenaran Adam Smith yang secara singkat dapat dinyatakan bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu mengatur perekonomian secara lebih baik.

Dari Multiple Exchange Rate ke Fixed Exchange Rate ke Managed Flooating Exchange Rate
Ketidakpercayaan pemerintah (Indonesia) terhadap keampuhan mekanisme pasar dapat dilihat dari sistem kurs devisa yang dianut, pada kenyataan langkanya jumlah devisa yang dimiliki, pemerintah Orde Lama mengambil sikap untuk menganut sistem pengawasan devisa. Artinya, pemerintah perlu mengawasi penggunaan devisa agar dapat dimanfaatkan untuk transaksi yang benar-benar sesuai dengan prioritas program pemerintah saat itu, yang secara operasional dilakukan dengan menggunakan lisensi atau surat izin impor. Guna mencapai sasaran tersebut pemerintah melakukan alokasi devisa pada berbagai tingkat kurs. Devisa yang digunakan untuk mengimpor barang-barang yang mempunyai prioritas tinggi (versi pemerintah) dapat dibeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan impor barang-barang dengan prioritas yang lebih rendah. Meskipun demikian, sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya adalah diperlukan administrasi untuk mengoperasionalkannya, dan munculnya pasar devisa gelap. Selain itu, sistem ini juga mendudukkan birokrat pada posisi yang sangat kuat dibandingkan dengan importir sehingga godaan terhadap kolusi, korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang sangat besar.
Menyadari akan kelemahan tersebut, pemerintah Orde Baru mulai melepaskan pengawasan devisa dan penganut sistem devisa bebas serta mengganti multiple exchange rate system menjadi fixed exchange rate. Dengan sistem kurs devisa tetap, pemerintah menetapkan kurs sebesar Rp 415,- US dolar berlaku 1971. Resikonya adalah bahwa pemerintah perlu mempertahankan tingkat kurs tersebut dengan cara mensuplai devisa bila kurs pasar lebih tinggi daripada kurs yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya pemerintah akan membeli devisa (dengan rupiah) bila kurs pasar lebih rendah dari floor price yang ditetapkan (meskipun ini tidak pernah terjadi). Krisis Pertamina tahun 1975 telah mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa, sehingga pemerintah pada tahun 1978 merasa perlu untuk mengisi kendali devisanya dengan melakukan devaluasi dari Rp 415,- menjadi Rp 625,- per US dolar. Kemudian resesi ekonomi dunia telah memaksa pemerintah untuk melakukan devaluasi lagi sebesar 28% pada tahun 1983, dan terakhir terjadi devaluasi lagi tahun 1986. Pengamat ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo mengemukakan pendapat bahwa pemerintah tidak akan melakukan devaluasi mengingat bahwa cadangan davisa pada waktu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan impor selama 5-6 bulan.
Sejak dikeluarkannya devaluasi 1986, pemerintah melepaskan sistem kurs devisa tetap dan menganut sistem kurs devisa mengambang terkendali. Dengan sistem yang baru ini kurs devisa diserahkan pada kekuatan pasar tetapi pemerintah akan campur tangan bila fluktuasi kurs pasar melewati rentang kendali yang ditetapkan. Sejak itu pula pemerintah merasa tidak perlu lagi mempertahankan kurs divisa riil dengan melakukan devaluasi secara dadakan melainkan secara rutin sekitar 5% per tahun, sampai akhirnya digoncang oleh krisis moneter internasional.

Ambruknya Sistem Kurs Devisa Mengambang Terkendali
Salah satu kelemahan dasar dari sistem kurs devisa mmengambang terkendali adalah diperlukannya cadangan devisa yang cukup besar untuk intervensi pasar agar depresiasi mata uang domestik tidak lebih besar dari target yang diinginkan. Prasyaratnya adalah fundamental ekonomi harus cukup kuat. Ditinjau dari aspek cadangan devisa, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya memang belum cukup kuat. Dibandingkan dengan tahun 1986, cadangan devisa secara absolut memang meningkat yaitu dari sekitar US $ 7 miliar menjadi US$ 21 miliar tahun 1997. Namun demikian secara kualitatif cadangan devisa hanya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan impor, tidak hanya itu melainkan juga membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman hutang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang sudah jatuh tempo.
Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk mempertahankan sistem kurs devisa mengambang terkendali dengan berbagai macam cara, antara lain dengan meningktkan suku bunga SBI agar kelebihan likuiditas bank umum dapat disedot oleh Bank Sentral. Selain itu, juga memperketat likuiditas moneter dan menarik dana perusahaan-perusahaan milik negara pada bank-bank umum dengan tujuan untuk memperlemah kemampuan dan mencegah masyarakat untuk berspekulasi. Pemerintah juga memperlebar rentang intervensi kurs dengan maksud agar cadangan devisa tidak habis dipakaiuntuk intervensi pasar dalam rangka menghambat laju depresiasi rupiah. Upaya untuk memperkuat fundamental ekonomi itu identik dengan pembangunan itu sendiri yang memerlukan kesabaran, keuletan dan kepiawaian serta komitmen yang kuat untuk mewujudkannya dalam jangka waktu yang lama. Perwujudan tersebut dapat dipercepat seiring dengan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk mengurangi dan secara bertahap mengahapuskan berbagai bentuk distorsi ekonomi terutama monopoli dan berbagai bentuk kekuasaan pasar lainnya serta ketidakefisienan birokrasi pemerintah.

KESIMPULAN
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menempuh cara : Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan. Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Program Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir 1967- awal 1968), Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu kestabilan ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing dapat diatasi. Program Rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama 10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana ekonomi dan sosial. Lembaga perkreditan desa, gerakan koprasi, perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun dan perbaikan tata hidup masyarakat.
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut:
1.      Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
·         Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.
·         Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
·         Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
·         Penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
·         Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
·         Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.
·         Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
·         Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
·         Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
·         Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
·         Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.
·         Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.
Perwujudan tersebut dapat dipercepat seiring dengan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk mengurangi dan secara bertahap mengahapuskan berbagai bentuk distorsi ekonomi terutama monopoli dan berbagai bentuk kekuasaan pasar lainnya serta ketidakefisienan birokrasi pemerintah.
Berkat stabilitas politik dan keamanan yang mantap dan kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang cenderung pro-pasar, maka prestasi pembangunan ekonomi pemerintahan Orde Baru dapat dikatakan sangat berhasil ditinjau dari tinggi laju pertumbuhan eknomi, terkendali laju inflasi dan menurunnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank nasional sebagaimana terlihat dari adanya penarikan dana secara besar-besaran dari bank-bank yang dianggap kurang sehat ke bank-bank lainnya dianggap lebih sehat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed), Krisis Masa Kini dan Orde Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Harian Pelita 22 November 2012
Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Sruktural (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)
Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1989)
Thoha, Mahmud, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT terhadap Industri Kecil (Jakarta: UI-Press, 1998)




                [1] Tritura: Turunkan harga, Bubarkan kabinet yang terlibat Gerakan 30 September, Bubarkan PKI dan Ormas-ormasnya
                [2] Laju inflasi dapat ditekan dari 650% (1966) menjadi 100% (1967), 50% (1968), dan 13% (1969).
                [3] Secara teoritis urutan kebijakan deregulasi yang benar adalah sektor riil, kemudian sektor moneter, dan akhirnya sektor “capital account” atau kepemilikan devisa secara bebas. Urutan kebijakan deregulasi di Indonesia bertolak belakang dengan kerangka teoritis.

Kamis, 20 September 2012

Aliran Ilmu Filsafat


Sebagai bagian dari bangunan besar filsafat, filsafat ilmu hilang dan tumbuh berganti dari mashab yang satu ke mashab yang lainnya. Ini karena pemikiran filsafat ilmu berasal dari pikiran manusia. “Filsafat adalah pengetahuan atas realitas dalam kemungkingn-kemungkinan akal manusia, karena filsafat berakhir pada teori ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan bertindak di atas rel kebenaran yang sudah ditemukan”, demikian kata Abu Y’aqub al-kindi (dalam Hossein Nasr, 1993)

Makalah ini tertarik untuk mengkaji tentang aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat ilmu. Prinsip prinsip dari filsafat ilmu akan dijelaskan, cara pemerolehan ilmu dalam masing-masing aliran akan dieksplorasi dan kontribusi masing-masing aliran dalam membangun pengetahuan akan didiskusikan.

Rasionalisme
Rasionalisme adalah mashab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia.

Sejak abad pencerahan, rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika (Rasionalisme continental). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza.

Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio.
Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih berani bahkan mengatakan : “God exists only philosophically” (Calhoun, 2002).

Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.

Empirisme
Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah.
Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun, 2002).

Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.

Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.

Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan struktural (Ibid, 2002). Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat diobservasi (Francis & Dinnen, 1996)

Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19 dalam menjembatani antara ilmu alam dan humaniora, terutama dalam konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi yang disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun, 2002). Kontribusi lain dari tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam memberikan argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang diklaim oleh tradisi empirisme.

Idealism
Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.

Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah kata-kata” (Ibid, 2002). Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.

Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tak bisa dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia (ibid, 2002). Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang berada pada pikiran manusia (ibid, 2002). Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’ (ibid, 2002).

Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian. Tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama bagi fondasi filsafat politik modern antara lain John Rawls yang menulis tentang teori keadilan dan Habermas (1987) yang membuahkan karya ‘Communication action’. Melalui karya ini Habermas menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme konvensional. Bagi kaum idealis konvensional, kenyataan sejarah merupakan determinisme sejarah yang statis dan tidak dapat ditolak. Namun bagi Habermas, kenyataan sejarah adalah hasil dari dialektika dan komunikasi antar manusia. Dengan kata lain, Habermas memposisikan manusia menjadi subyek aktif dalam praktek-praktek politik dan dalam membangun institusi-institusi sosial.

Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.

Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif (Calhoun, 2002). Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.

Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.

Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.

Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce (dalam Calhoun, 2002), misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik. James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey (1916) yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.

Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.

Kesimpulan
Pandangan dan gagasan filsafat ilmu berkembang dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama. Namun demikian, walaupun masing-masing aliran ada kelebihan dan kelemahannya, setiap aliran filsafat ilmu saling berkonstribusi dengan saling menyapa secara kritis. Dari pokok bahasan di atas, semau filsafat ilmu memberkan kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya pemikiran ilmu pengetahuan modern.

Referensi:
Calhoun, C, 2002, Dictionary of the social science, Oxford University Press,
Oxford.
Dewey, J, 1916, Democracy and education: An introduction to the Philosophy of Education, Macmillan, NY.
Francis, P & Dinnen, S.J, 1996, An introduction to General Linguistic, Holt, Rinehart and Winston, INC, New York.
Habermas, J, 1987, The theory of communicative action, Beacon Press, Boston.
Nasr, H, 1993, History of Islamic Philosophy, Ansariyan Publications, Shohada Str. Qum.

http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87

BAHAYA BID’AH, TAHAYUL DAN KHURAFAT


Sebagai pembuka mari kita pelajari firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisaa, 59)

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (١١٦)

116. dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)[500]. (QS. Al An’aam, 116)

[500] Mereka berdusta terhadap Allah Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak, juga melakukan suatu ibadah dengan harapan pahala padahal Rasulullah tidak mengajarkannya

Abu Dzar Al Ghifari Berkata : “Tidak ada yang diabaikan oleh Nabi SAW, sampai burung yang mengepakkan sayapnya di langit, beliau telah mengajarkan kepada kami tentang ilmunya”. Dalam hal ini Rasulullah telah menepati sifat tabligh, yaitu menyampaikan ilmu dari Allah. Salman Al Farisy Berkata (ketika ditanya apakah Nabi telah mengajarkan cara berhajat) : “Ya, beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat dan melarang kami membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu atau dengan tangan kanan atau dengan kotoran kering atau dengan tulang”
Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Islam melaui Rasulullah telah memberi petunjuk, membimbing dan mengatur umatnya dari hal yang besar (tauhid) sampai hal yang kecil (kebutuhan pribadi), sehingga merupakan ajaran yang lengkap. Dengan menambah (mengada-ada) ibadah berarti menganggap Islam atau ajaran Rasulullah kurang lengkap.

PENGERTIAN BID’AH
Menurut bahasa : sesuatu yang baru (diada-adakan). Menurut  istilah : sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi SAW dan para sahabatnya, baik berupa aqidah maupun amal. (Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).
Macam-macam Bid’ah:
1.      Bid’ah Qouliyah I’tiqodiyah : bid’ah yang bersifat pemikiran dan akidah. Contoh : Pernyataan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari Nabi Muhammad SAW.
2.      Bid’ah fil’Ibaadah :
a.      Bid’ah fie ushulil’ibadah (menyebut ibadah yang tidak ada dasar dalam syariat : sholat/puasa tertentu diluar syariat, perayaan-perayaan, dsb).
b.      Bid’ah fie ziaadatil’ibadah (menambahkan sesuatu pada ibadah yang telah disyariatkan : menambah rakaat sholat, dll).
c.       Bid’ah dalam pelaksanaan ibadah yang disyariatkan sehingga tidak sesuai dengan anjuran atau sunnah Nabi : dzikir bersama dengan suara keras/merdu; memperketat diri dalam suatu ibadah sampai keluar dari batas sunnah.
d.      Bid’ah dengan mengkhususkaan waktu tertentu dalam melaksanakan ibadah yang disyariatkan : puasa dan tahajjud nifsu sya’ban.

Prinsip dalam ibadah adalah : Semua ibadah itu dilarang, kecuali dalil yang memerintahkan (dari Allah dan Rasulullah). Prinsip dasar diluar ibadah adalah : segala sesuatu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya.
Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan Abu Dawud : “Suatu ketika para sahabat bersama Rasulullah, dan beliau memberi peringatan sampai hati kami bergetar dan meneteskan air mata. Kemudian kami berkata, Ya Rasulullah berikanlah kami petunjuk. Rasulullah menjawab : Hendaklah kalian itu bertaqwa kepada Allah, kamu mendengar dan kamu taat. Sesungguhnya seorang hapsi (Abasyiah) karena tidak taqwa pada Allah, mereka akan didatangi perselisihan / perbedaan yang besar. Wajib bagi kamu untuk melaksanakan sunnahku dan sunnah khulafaurrhasyidin yang telah diberi petunjuk. Dan pegangi itu seperti kamu menggigit dengan gigi geraham. Dan wajib kamu tinggalkan oleh kamu perkara-perkara yang diada-adakan. Karena tiap tiap bid’ah itu adalah sesat.” (Ibnu Majjah, juga Abu Dawud dalam lafal yang berbeda).
Hadist riwayat Muslim (1718), Rasulullah bersabda : Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW, sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu adalah sesat.
Bahaya Bid’ah (Aspek I’tiqody) :
  • Tasabuh/menyerupai dengan umat Yahudi dan Nasrani, sudah menjadi kebiasaan Yahudi dan Nasrani untuk menambah ajaran agama.
  • Melecehkan kesempurnaan agama Islam yang telah dibawa Nabi Muhammad SAW, karena menganggap ajaran Nabi masih kurang.
  • Penentangan terhadap firman Allah dan penyelisihan terhadap hadits-hadits Nabi SAW tentang bid’ah dan perintah untuk menjauhinya.
  • Menuduh Nabi SAW menutupi ajaran yang mesti harus disampaikan kepada umatnya.
  • Menempatkan diri sederajat dengan Rasul SAW sebagai pembawa risalah / penentu ajaran.
  • Menyesatkan diri dan orang lain, karena maksud yang baik dilakukan dengan cara yang salah (dlolalah)
Bahaya Bid’ah (Aspek Amaliah) :
·        Merusak amalan-amalan syar’i yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya
·        Tersingkirnya amalan sunnah yang disyariatkan oleh bid’ah yang melembaga
·        Cenderung kepada perbuatan syurik, ghuluw (berlebihan) yang merusak kemurnian Islam
·        Mengaburkan nilai-nilai ibadah dan ketentuan syariat
·        Amalan bertolak dan berdosa
Bahaya Bid’ah (Aspek Syi’ar Islam) :
·        Memudarnya citra Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan secara holistik, (hablun minallah dan hablun minannas)
·        Memecahbelah umat Islam, karena bid’ah tidak mungkin selalu sama dan meluasnya fitnah dalam agama/syirik
·        Hilangnya perhatian umat terhadap aspek-aspek pokok ajaran (ushul) dan lebih mengedepankan aspek-aspek cabang (furu’)

Perbandingan Bid’ah dengan Sanna Sunnatan Khasanah (Contoh jalan yang baik/Sunni) :

BID’AH
·        Mengadakan ibadah yang baru dalam Islam
·        Dimaksudkan sebagai bentuk ibadah dengan kaifiyat tertentu
·        Kreatifitas untuk menuju kebaikan di luar yang diajarkan Nabi

SANNA SUNNATAN KHASANAH
·        Memberi contoh amal yang baik dalam Islam
·        Dimaksudkan sebagai cara, sarana dalam melaksanakan perintah
·        Bertumpu pada prinsip ittiba’ Nabi dalam tujuan dan kaifiyat


Prinsip-prinsip Mutabbah’ah Nabi (mengikuti ajaran Nabi) :
1.      Sebab : alasan mengerjakannya, hanya diterima jika dilatarbelakangi oleh sesuatu yang disyariatkan, puasa jelang bangun rumah tidak sah
2.      Jenis : harus sesuai dengan ketentuan, kuda tidak sah untuk kurban
3.      Kadar/bilangan/takaran : sholat subuh 3 rakaat tidak sah
4.      Kaifiyah/cara : sesuai dengan ketentuan, wudhu tidak sah jika tidak tertib
5.      Waktu : sesuai dengan ketentuan, menyembelih kurban pada 1 dzulhijjah tidak sah
6.      Tempat : thowaf di monas tidak sah

PENGERTIAN KHURAFAT
Mempercayai suatu benda/tempat/hari/waktu/bacaan/tulisan dan yang sejenisnya mempunyai kekuatan dan pengaruh yang dapat memberikan manfaat dan atau madharat secara i’tiqody (keyakinan).
PENGERTIAN TAHAYUL
Mempercayai suatu kejadian/keadaan/firasat/ramalan tertentu akan menyebabkan terjadinya sesuatu yang belum diketahui.

BAHAYA KHURAFAT DAN TAHAYUL
·        Manusia tersandera oleh sesuatu yang tidak ada dasar dan ilmunya
·        Manusia berada dibawah ikatan/pengaruh sesama makhluk yang merendahkan kedudukannya
·        Membodohkan/menistakan dan cenderung menempuh jalan pintas
·        Menumbuhkan sikap pesimis, fatalistis, primitif, skeptis, ghuluw, egois, opportunis, takabur, dll.
·        Pintu syirik yang berbahaya dan berdosa

Jadi, bid’ah merusak agama dan keyakinan terhadap Allah dan Rasulullah. Sedangkan khurafat dan takhayul merendahkan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dihadapan Allah. Sehingga adanya tauhid adalah untuk membebaskan manusia dari seluruh kenistaan tersebut, karena semua hanya untuk Allah SWT.